Jumat, Desember 26, 2008

Daya Saing Daerah : Bagian 2

Dari uraian dalam posting-posting sebelumnya (lihat misalnya di sini), maka secara ringkas dapat diilustrasikan dengan gambar berikut.




Pesan penting yang ingin disampaikan di sini adalah bahwa betapa pentingnya setiap daerah [baca : pemerintahan, dunia usaha, dan masyarakatt] berupaya secara cerdas dalam meningkatkan daya saingnya. Karena dengan cara inilah dapat dikembangkan industri dan masyarakat yang berdaya saing.
Pengertian di atas inilah sebenarnya yang menurut hemat saya merupakan esensi dari “keunggulan daerah.” Sebagai informasi tambahan, berikut saya akan sajikan beberapa bahasan relevan.

Beberapa Prakarsa Analisis Daya Saing Daerah
Pada bagian berikut saya sampaikan hanya sebagian kecil contoh sangat singkat dari prakarsa analisis dan upayan peningkatan daya saing yang terkait dengan “daerah” di beberapa negara.
Untuk menganalisis daya saing daerah, Gardiner (2003) menggambarkan suatu tinjauan tentang daya saing dan menggunakan kerangka serupa dengan daya saing nasional (dalam analisis di Uni Eropa) seperti ditunjukkan pada gambar dan tabel berikut.





Perhatikan bahwa dimensi lokalitas/geografis dan "pengetahuan/teknologi" memang dipandang sebagai dimensi yang semakin kian penting bagi daya saing daerah. Karena itu, memang sebaiknya kita menyadari untuk menggali dan mengembangkan potensi terbaik daerah masing-masing untuk dikembangkan. Demikian halnya dengan sumber daya manusia [SDM]. Bayangkan, kalau semua "orang-orang" terbaik daerah hanya mau berkarya di Jakarta, maka situasi seperti itu membawa kepada kondisi yang sering disebut brain drain. tentu sulit untuk mempercepat pembangunan daerah-daerah di Indonesia.

Untuk sementara sekian dulu. . . . Bersambung.


Baca Selanjutnya...

Sabtu, Desember 20, 2008

Daya Saing Daerah : Catatan Pinggir(an)

Saya pernah sampaikan dalam posting yang lain, daya saing (competitiveness) merupakan salah satu kata kunci yang lekat dengan pembangunan ekonomi lokal/daerah. Camagni (2002) mengungkapkan bahwa daya saing daerah kini merupakan salah satu isu sentral, terutama dalam rangka mengamankan stabilitas ketenagakerjaan, dan memanfaatkan integrasi eksternal (kecenderungan global), serta keberlanjutan pertumbuhan kesejahteraan dan kemakmuran lokal/daerah. Seperti juga ditegaskan antara lain oleh Meyer-Stamer (2003) bahwa “LED is about competitiveness – it is about companies thriving in competitive markets and locations thriving in a competitive, globalised world.” [catatan : LED = Local Economic Development].
Yang dimaksud “daerah” dalam hal ini adalah area/wilayah geografis tertentu[1] di dalam suatu negara atau antara beberapa negara. Untuk pengertian yang pertama, maka daerah merupakan bagian integral dari suatu negara. Walaupun prakarsa tentang daya saing daerah berkembang pesat di berbagai negara, pengertian (konsep) tentang ini relatif tidak (belum) banyak dibahas (dibanding dengan jumlah prakarsa itu sendiri).
Diskusi tentang daya saing yang secara eksplisit mengelaborasi definisi/pengertian daya saing daerah memang relatif terbatas. Berikut adalah beberapa definisi tentang daya saing daerah:

  • Daya saing tempat (lokalitas dan daerah) merupakan kemampuan ekonomi dan masyarakat lokal (setempat) untuk memberikan peningkatan standar hidup bagi warga/penduduknya (Malecki, 1999).
  • Daya saing merupakan kemampuan menghasilkan produk barang dan jasa yang memenuhi pengujian internasional, dan dalam saat bersamaan juga dapat memelihara tingkat pendapatan yang tinggi dan berkelanjutan, atau kemampuan daerah menghasilkan tingkat pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi dengan tetap terbuka terhadap persaingan eksternal (European Commission, 1999).
  • Daya saing daerah dapat didefinisikan sebagai kemampuan para anggota konstituen dari suatu daerah untuk melakukan tindakan dalam memastikan bahwa bisnis yang berbasis di daerah tersebut menjual tingkat nilai tambah yang lebih tinggi dalam persaingan internasional, dapat dipertahankan oleh aset dan institusi di daerah tersebut, dan karenanya menyumbang pada peningkatan PDB dan distribusi kesejahteraan lebih luas dalam masyarakat, menghasilkan standar hidup yang tinggi, serta virtuous cycle dampak pembelajaran (Charles dan Benneworth, 2000).
  • Daya saing daerah berkaitan dengan kemampuan menarik investasi asing (eksternal) dan menentukan peran produktifnya . . . . (Camagni, 2002).
  • Daya saing perkotaan (urban competitiveness) merupakan kemampuan suatu daerah perkotaan untuk memproduksi dan memasarkan produk-produknya yang serupa dengan produk dari daerah-daerah perkotaan lainnya (World Bank;[2] dan Webster dan Muller, 2000).
  • Daya saing daerah adalah kemampuan perekonomian daerah dalam mencapai pertumbuhan tingkat kesejahteraan yang tinggi dan berkelanjutan dengan tetap terbuka pada persaingan domestik dan internasional (Abdullah, et al., 2002).

Daerah (misalnya provinsi, kabupaten/kota) merupakan suatu entitas ekonomi dan sebagai bagian integral dari suatu negara [Indonesia]. Karena itu, dengan analogi terhadap negara, maka daya saing daerah, hingga batas tertentu, pada dasarnya akan memiliki “keserupaan fitur” dengan daya saing negara. Karena itu, definisi daya saing pada tingkatan “negara” seperti yang telah dibahas dapat diterapkan pada daerah sesuai konteksnya. Dengan merujuk kepada pengertian daya saing nasional dari berbagai lembaga, berikut adalah beberapa “alternatif” definisi umum tentang daya saing daerah yang penulis tawarkan:

  • Kemampuan daerah menarik dan mempertahankan sumber daya produktif[3] dan menentukan peran produktifnya dalam konteks domestik (nasional) dan internasional dengan mengembangkan iklim kondusif dalam memenuhi kebutuhan warga (masyarakatnya)[4] dan perusahaan-perusahaannya, berkaitan dengan kesejahteraan dan efisiensi secara umum secara berkelanjutan.[5]
  • Kemampuan suatu daerah menciptakan dan memelihara suatu lingkungan yang dapat mempertahankan daya saing perusahaan-perusahaannya di daerah yang bersangkutan.
    Kemampuan daerah untuk menghasilkan nilai tambah secara berhasil dalam persaingan nasional dan/atau internasional, dan dalam waktu bersamaan masyarakat di daerah yang bersangkutan juga menikmati suatu standar hidup yang meningkat dan berkelanjutan.
  • Tingkatan di mana suatu daerah, dalam kondisi pasar yang bebas dan adil, dapat menghasilkan nilai tambah (barang dan jasa) dalam pasar lokal, nasional dan/atau internasional secara lebih baik (dibanding yang dilakukan pesaingnya), serta dalam saat bersamaan juga mampu memelihara dan memperluas pendapatan riil masyarakatnya untuk periode jangka panjang.
  • Pengertian yang “lebih spesifik”: daya saing daerah merupakan pertumbuhan produktivitas secara berkelanjutan yang membawa kepada peningkatan standar hidup, yang didorong oleh kualitas dari strategi dan pengoperasian bisnis, kualitas lingkungan bisnis, dan lingkungan ekonomi makro di daerah yang bersangkutan.

Saya cenderung untuk menyederhanakan bahwa daya saing suatu daerah merupakan kemampuan daerah menciptakan/ mengembangkan dan menawarkan :

  • iklim/lingkungan yang paling produktif bagi bisnis dan inovasi,
  • daya tarik atau menarik “investasi,” taenta (talented people), dan faktor-faktor mudah bergerak (mobile factors) lainnya, sertapotensi berkinerja unggul yang berkelanjutan.

Jika diilustrasikan, hubungan antara daya saing produk, perusahaan, industri, dan daerah adalah seperti ditunjukkan oleh gambar berikut. Jadi pada dasarnya, produk yang berdaya saing [unggul] hanya akan dihasilkan oleh perusahaan [organisasi] yang berdaya saing [unggul]. Perusahaan atau organisasi yang berdaya saing [unggul] hanya akan berkembang dalam lingkungan industri yang berdaya saing [unggul]. Industri yang berdaya saing [unggul] hanya akan berkembang di lokasi/daerah yang juga berdaya saing [unggul]. Jika pun dalam kenyataannya ada produk perusahaan/industri yang berdaya saing berkembang di ”daerah yang tidak memiliki daya saing,” maka sebenarnya hal demikian lebih merupakan ”pengecualian” semata dan/atau keunggulannya pun sebenarnya tidak berkelanjutan (tidak memiliki sustainable advantage).

Catatan :
[1] Bisa dalam pengertian formal yang biasanya terkait batasan administratif/pemerintahan atau terkait dengan pengertian “tatanan” tertentu, misalnya “Jabotabek”.
[2] http://www.worldbank.org/urban/led/step_two_urban_competitiveness.html.
[3] Termasuk investasi dari luar dan talenta yang sesuai dengan potensi terbaik dan karakteristik setempat.
[4] Yaitu kesejahteraan yang semakin tinggi dan semakin adil.
[5] Untuk mencapai pertumbuhan produktivitas dan profitabilitasnya.


Bersambung . . .

Baca Selanjutnya...

Selasa, Desember 16, 2008

Daya Saing Negara : Catatan Pinggir(an)

Pada tingkat inilah umumnya beragam perbedaan pendapat/pandangan mendominasi perdebatan akademis tentang daya saing. Terlepas dari perdebatan hangat yang terus berlangsung, berikut adalah beberapa definisi yang terkait dengan daya saing daerah/negara.
Krugman (1994) misalnya berargumen bahwa daya saing tak dapat diterapkan manakala berbicara soal ekonomi keseluruhan (ia menyatakan: competitiveness is a meaningless word when applied to national economies . . . And the obsession with competitiveness is not only wrong but dangerous . . .). Krugman lebih jauh mengungkapkan beberapa bukti empiris tentang tidak signifikannya kinerja perdagangan sebagai “penentu” bagi standar hidup (yang diinterpretasikan dengan ukuran “produktivitas”) di Amerika Serikat, dan menegaskan hal serupa bagi Masyarakat Ekonomi Eropa (kini Uni Eropa) dan Jepang.
OECD mendefinisikan daya saing sebagai tingkatan di mana suatu negara, dalam kondisi pasar yang bebas dan adil, dapat menghasilkan barang dan jasa yang berhasil dalam pasar internasional, yang secara simultan juga mampu memelihara dan memperluas pendapatan riil masyarakatnya untuk periode jangka panjang.
Pernyataan dari Ketua Council of Economic Advisors – Amerika Serikat (Laura D'Andrea Tyson, lihat World Bank, 2001) yang juga dikutip oleh Krugman (1994) dalam kritiknya mengungkapkan bahwa “daya saing merupakan kemampuan kita menghasilkan barang dan jasa yang berhasil dalam persaingan internasional, dan dalam waktu bersamaan warga negara juga menikmati suatu standar hidup yang meningkat dan berkelanjutan (sustainable).”[1]
Pemerintah Inggris, dalam dokumen The Government’s Competitiveness White Paper (lihat UK DTI. 1998) menyebutkan bahwa daya saing pada dasarnya menyangkut penciptaan keterampilan yang tinggi, produktivitas yang tinggi, dan karenanya upah ekonomi yang tinggi, di mana perusahaan dapat tumbuh-berkembang dan kita dapat mencari peluang (ketimbang ancaman) di tengah perubahan yang tidak mungkin dihindari.
Washington Technology Center (2001) lebih menekankan pentingnya teknologi dengan menyatakan bahwa daya saing berkaitan dengan menarik dan mempertahankan industri yang berbasis teknologi (attracting and keeping technology-based industries).
Porter (1990, 2002b, 2003), dan Porter dan Ketels (2003) menekankan bahwa untuk memahami daya saing, titik awalnya adalah sumber dari kesejahteraan/kemakmuran bangsa. Standar hidup suatu bangsa ditentukan oleh produktivitas ekonominya, yang diukur dengan nilai (value) barang dan jasa yang dihasilkan per satuan manusia, modal (capital) dan sumber daya alamnya. Produktivitas bergantung baik pada nilai barang dan jasa suatu bangsa, yang diukur dengan harga yang dapat dikendalikan dalam suatu pasar yang terbuka (open market), maupun pada efisiensi di mana barang dan jasa tersebut diproduksi. Oleh karena itu dalam kaitan ini, pengertian (dan sekaligus juga ukuran) yang sebenarnya tentang daya saing adalah produktivitas.[2] produktivitas memungkinkan suatu negara menopang tingkat upah yang tinggi, nilai tukar yang kuat dan returns to capital yang menarik, dan bersama ini semua juga standar hidup yang tinggi.
Menggunakan kerangka pikir Porter, Lanza (2002) mendefinisikan daya saing sebagai pertumbuhan produktivitas secara berkelanjutan yang membawa kepada peningkatan standar hidup, yang didorong oleh kualitas dari strategi dan pengoperasian bisnis, kualitas lingkungan bisnis, dan lingkungan ekonomi makro.
Sementara itu, Institute for Management Development (IMD) (Garelli, 2003) menggunakan “definisi bisnis” sebagai “definisi “praktis” tentang daya saing sebagai “bagaimana suatu bangsa/negara menciptakan dan memelihara suatu lingkungan yang dapat mempertahankan daya saing perusahaan-perusahaannya.”[3]
Berikut adalah beberapa definisi daya saing yang dikutip dari IMD (diambil dari The US National Competitiveness Council) dan beberapa sumber internet:

  • Daya saing adalah kemampuan suatu negara untuk mencapai pertumbuan PDB per kapita yang tinggi terus-menerus (World Economic Forum, Global Competitiveness Report, 1996).
  • Daya saing nasional merupakan kemampuan suatu negara menciptakan, memproduksi dan/atau melayanai produk dalam perdagangan internasional, sementara dalam saat yang sama tetap dapat memperoleh imbalan yang meningkat pada sumber dayanya (Scott, B. R. and Lodge, G. C., “US Competitiveness in the World Economy”, 1985).
  • Daya saing menyangkut arti elemen produktivitas, efisiensi dan profitabilitas. Tetapi daya saing bukan suatu akhir atau sasaran, melainkan suatu cara untuk mencapai peningkatan standar hidup dan meningkatkan kesejahteraan sosial. – suatu alat untuk mencapai sasaran. Secara global, dengan peningkatan produktivitas dan efisiensi dalam konteks spesialisasi internasional, daya saing memberikan basis bagi peningkatan penghasilan masyarakat secara “non-inflasioner.” Competitiveness Advisory Group, (Ciampi Group) : “Enhancing European Competitiveness”. First report to the President of the Commission, the Prime Ministers and the Heads of State, June 1995.
  • Daya saing harus dilihat sebagai suatu cara dasar untuk meningkatkan standar hidup, menyediakan kesempatan kerja bagi yang menganggur dan menurunkan kemiskinan. Competitiveness Advisory Group, (Ciampi Group): “Enhancing European Competitiveness”. Second report to the President of the Commission, the Prime Ministers and the Heads of State, December 1995.
  • Daya saing berkaitan dengan peningkatan produktivitas yang berkelanjutan (Thailand Competitiveness Initiative/TCI – Thailand. http://www.kiasia.com/).

Terdapat perbedaan antara IMD dengan Porter (WEF) dalam mengelaborasi pengertian daya saing. Dalam kerangka IMD misalnya, daya saing tidaklah sekedar kinerja ekonomi dan tidak dapat direduksi semata kepada produktivitas atau keuntungan (Garelli, 2003). Bagi Garelli, daya saing mencakup konsekuensi ekonomi dari isu-isu non-ekonomi seperti pendidikan sains, stabilitas politik atau sistem nilai.
Apakah negara bersaing satu dengan lainnya? Garelli termasuk yang berpendapat bahwa negara memang bersaing. Ini karena pasar dunia yang terbuka (dan semakin terbuka). Tidak demikian halnya dengan Krugman. Menurutnya, pandangan “persaingan antar negara” akan menghambat hubungan salking menguntungkan seperti misalnya melalui perdagangan.[4]
Bagi sebagian, konteks pengertian daya saing pada level ini berkaitan dengan daya tarik bagi investasi (seperti misalnya stabilitas, pemerintahan yang baik dan peluang bagi investasi yang menguntungkan). Porter (2001) misalnya menyatakan bahwa negara ataupun daerah pada dasarnya bersaing dalam menawarkan lingkungan yang paling produktif bagi bisnis. Untuk sebagian lagi, “keberatan” yang diajukan terkait dengan negara tidak bersaing dalam konteks perdagangan (jika ya, tentu tidak akan terjadi perdagangan antar negara, bilateral maupun multilateral) dan kelemahan dasar teori yang melandasinya, termasuk misalnya bagaimana metode yang digunakan oleh WEF atau IMD dalam menyusun indeks daya saing negara. [5] Terlepas dari itu, banyak pihak setuju bahwa kerangka daya saing dan pengukurannya merupakan tool yang berguna dalam konteks pengembangan sektor swasta.
Pada tingkat makro, beberapa indikator biasanya digunakan untuk menelaah daya saing negara. Bank Dunia (World Bank, 2001) misalnya menyampaikan beberapa pengukuran daya saing, seperti:

  • Neraca perdagangan (trade balance)
  • Nilai tukar (exchange rate)
  • Upah (wages)
  • Ekspor (exports)
  • Aliran FDI (FDI flows)
  • Biaya tenaga kerja (unit labor costs).

IMD yang menganggap “definisi “praktis” daya saing sebagai “bagaimana suatu bangsa/negara menciptakan dan memelihara suatu lingkungan yang yang dapat mempertahankan daya saing perusahaan-perusahaannya,” menilai empat faktor utama penentu daya saing, yaitu:

  • Kinerja Ekonomi (Economic Performance).
  • Efisiensi Pemerintah (Government Efficiency).
  • Efisiensi Bisnis (Business Efficiency).
  • Infrastruktur (Infrastructure).

Sementara itu, the World Economic Forum (WEF) menelaah daya saing negara dengan cara yang berbeda. Ini telah banyak dikupas di berbagai media, demikian halnya dengan contoh-contoh pengukuran daya saing dan tidak akan dibahas di sini.

Catatan :
[1] Lihat juga Cohen (1994).
[2] Pada tulisan lain, Porter (misalnya 2002b) mengungkapkan pengertian (dan sekaligus juga ukuran) daya saing pada produktivitas dan pertumbuhan produktivitas yang menerus/berkelanjutan (sustained growth in productivity).
[3] Sementara itu, definisi “akademis”-nya adalah: “Competitiveness of Nations is a field of Economic knowledge, which analyses the facts and policies that shape the ability of a nation to create and maintain an environment that sustains more value creation for its enterprises and more prosperity for its people” (Garelli, 2003).
[4] Debat tentang ini dapat ditelaah lebih lanjut dalam beragam tulisan, misalnya Cohen (1994), Siggel (2003), dan lainnya yang sebagian tercantum di Daftar Pustaka.
[5] Lihat misalnya tulisan Paul Krugman (Krugman, 1994) dan kritik Sanjaya Lall (Lall, 2001b).


Semoga bermanfaat.
Salam.

Baca Selanjutnya...

Minggu, Desember 14, 2008

Daya Saing Industri : Catatan Pinggir(an) Bagian 2

Artikel lanjutan dari posting sebelumnya . . .

Telaahan daya saing berkaitan dengan beragam aspek seperti statis – dinamis, satu dimensi – multidimensi, stochastic – deterministik, dan sebagainya. Tentu saja saya tidak akan membahas hal tersebut satu persatu. Untuk diskusi luas dan mendalam tentang ini, lihat misalnya tulisan Siggel (2003) dan literatur yang khusus menelaah isu-isu tersebut.
Kajian daya saing pada tingkat industri berkembang pada dasarnya dalam dua perspektif arus utama (mainstreams). Pertama, yang memandang agregasi perusahaan dalam suatu “sektor” industri atau aktivitas ekonomi tertentu (sebagaimana telah dikenal luas saat ini).[1] Pandangan kedua, meletakkan industri dengan tekanan sebagai sehimpunan perusahaan dan organisasi dalam konteks rangkaian mata rantai nilai tambah.
Dalam perspektif pertama, daya saing industri merupakan daya saing rata-rata dari agregasi perusahaan dalam sektor industri tertentu. Sebagian besar ukuran daya saing pada tingkat perusahaan (profitabilitas, biaya, produktivitas) dapat dianalisis pada tingkat industri. Pandangan “sektoral” demikian juga merupakan pendekatan “klasik” yang umumnya dipahami dalam menelaah sektor-sektor ekonomi. Sementara itu dalam perspektif kedua, daya saing lebih dilihat dalam konteks rantai nilai tambah yang umumnya terjadi “lintas sektor.”
Berbagai cara perbandingan sektoral pada tingkat nasional ataupun internasional berkembang dengan baik dan memudahkan misalnya dalam melihat “posisi” relatif suatu sektor di suatu daerah (negara) terhadap sektor serupa di daerah (negara) lain. Walaupun begitu, dalam konteks peningkatan daya saing, upaya sektoral saja dinilai banyak mempunyai kelemahan. Di antara kritik pada perspektif ini adalah pandangan sektoral yang “membawa kepada pendekatan sektoral yang terlampau terkotak-kotak seolah dengan sekat pemisah satu dengan lainnya,” yang antara lain berimplikasi kepada kebijakan dan praktik pembangunan ekonomi seperti umumnya dinilai sejauh ini.[2]
Untuk perbandingan “langsung” seperti perbandingan sektoral antar daerah/negara, tidaklah mudah dilakukan dalam konteks pendekatan rantai nilai (klaster industri). Mengingat pendekatan klaster industri[3] pada dasarnya bersifat unik atau case specific,[4] maka memang klaster industri “X” di suatu daerah atau negara tak selalu persis serupa dengan klaster industri “X” di daerah atau negara lain.
Harus diakui, untuk upaya “perbandingan,” telaahan kuantitatif atas klaster industri tertentu memang masih menimbulkan persoalan mengingat klaster tidak mengikuti batas-batas sektoral (dalam pengertian konvensional). Walaupun begitu, perkembangan iptek dan industri mendorong penyesuaian-penyesuaian pengklasifikasian di berbagai negara, baik dalam revisi ISIC (International Standard of Industrial Classification) maupun pengelompokan spesifik di masing-masing negara. NAICS (North American Industrial Classification) misalnya, merupakan revisi paling akhir hingga saat ini yang digunakan di Amerika Serikat, dan juga untuk Kanada dan Meksiko. Sedangkan NACE (Nomenclature of economic activities in the European Union) merupakan nomenklatur aktivitas ekonomi bagi Uni Eropa.[5] Sementara itu, KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia) merupakan penyesuaian dari KLUI (Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia) atas revisi ketiga ISIC untuk Indonesia yang dikembangkan oleh Badan Pusat Statistik/BPS. Dengan acuan ini, sebenarnya perbandingan klaster industri pun dapat dilakukan, setidaknya secara konsep, seperti halnya dalam perbandingan sektoral yang telah lama dilakukan. Keduanya akan saling melengkapi dalam upaya pemahaman secara lebih baik tentang industri (aktivitas ekonomi).
Sebagai contoh dalam melihat perbandingan kinerja industri adalah yang dilakukan misalnya oleh UNIDO (2002), melalui publikasinya Industrial Development Report 2002/2003. Laporan tersebut antara lain mengungkapkan perbandingan kinerja sektor manufaktur dengan menggunakan konsep CIP (Competitive Industrial Performance Index). Silahkan gali dan pelajari contoh-contoh relevan.

Semoga bermanfaat.
Salam.

Catatan :
[1] Berdasarkan kode ISIC sesuai dengan digit dalam masing-masing kelompok industri.
[2] Mungkin ini terkait dengan “kekaburan” pemahaman tentang sektor ekonomi, sektor pembangunan, dan sektor “penganggaran pembangunan” serta bagaimana keterkaitannya dengan “bidang tugas dan fungsi” organisasinya di antara pembuat kebijakan sendiri dalam praktik pembangunan.
[3] Akan dijelaskan dalam bab-bab berikut.
[4] Ini antara lain karena berkaitan dengan konteks potensi daya saing yang dimiliki atau hendak dikembangkan dalam prakarsa penguatan klaster industri di suatu daerah atau negara.
[5] Lihat misalnya http://www.econ.ucl.ac.be/ires/Base_de_donnees/nomenclatures/nace/NACE4_93_ENGL.html

Baca Selanjutnya...

Sabtu, Desember 13, 2008

Daya Saing Industri : Catatan Pinggir(an)

Terkait dengan posting sebelumnya, tulisan kali ini akan mengangkat catatan pinggir(an) saya tentang daya saing industri (pada tingkat industri atau terkadang disebut meso).

Di antara contoh pengertian daya saing pada tingkat industri ini adalah sebagai berikut:[1]

  • Suatu industri dikatakan berdaya saing (kompetitif) jika memiliki tingkat produktivitas faktor keseluruhan (total factor productivity/TFP) sama atau lebih tinggi dibandingkan dengan pesaing asingnya (foreign competitors).
  • Suatu industri dikatakan berdaya saing (kompetitif) jika memiliki biaya satuan (rata-rata) sama atau lebih rendah dibandingkan dengan pesaing asingnya (foreign competitors).

Berikut adalah beberapa definisi daya saing yang dikutip dari IMD (diambil dari The US National Competitiveness Council):

  • Daya saing mencakup efisiensi (mencapai sasaran dengan biaya serendah mungkin) dan efektivitas (memiliki sasaran yang tepat). Pilihan tentang inilah yang sangat menentukan dari sasaran industri. Daya saing meliputi baik tujuan akhir dan cara mencapai tujuan akhir tersebut (Buckley, P. J. et al, “Measures of International Competitiveness: A Critical Survey”, Journal of Marketing Management, 1988).
  • Daya saing industri adalah kemampuan perusahaan atau industri dalam menghadapi tantangan persaingan dari para pesaing asingnya (US Department of Energy).
  • Mendukung kemampuan perusahaan, industri, daerah, negara atau supranational regions untuk menciptakan tingkat pendapatan dan pemanfaatan faktor yang relatif tinggi, sambil tetap mempertahankan keberadaan dalam persaingan internasional (OECD, 1996. “Industrial Competitiveness:Benchmarking Business Environments in the Global Economy”).

Hal sangat penting tentang daya saing dalam tingkat industri ini adalah pandangan bahwa keunggulan daya saing nasional semestinya dilihat pada tingkat ini. Ini antara lain yang diyakini oleh Porter [Michael E. Porter] yang juga menyampaikan
“….. the basic unit of analysis for understanding of national advantage is the industry. Nations suceed not in isolated industries, however, but in clusters of industries connected through vertical and horizontal relationships. A nation’s economy contains a mix of clusters, whose makeup and sources of competitive advantage (or disadvantage) reflect the state of the economy’s development.”[2]

Daya saing sering dikaitkan dengan biaya tenaga kerja relatif (relative unit labour cost/RULC). Seperti disampaikan oleh OECD, pendekatan ini membawa kepada pengukuran yang berfokus pada biaya upah dan produktivitas tenaga kerja (terkadang hanya pada upah tenaga kerja), dan pandangan bahwa devaluasi merupakan suatu cara untuk meningkatkan daya saing. Pendekatan RULC dan devaluasi ini banyak mendapatkan kritik mengingat negara-negara tertentu seperti Jepang dan Jerman Barat dalam kenyataannya mengalami peningkatan RULC maupun pangsa pasar dunia, dan karena biaya tenaga kerja seringkali tidak lagi menjadi komponen penting biaya total/keseluruhan.[3]
Modal dan faktor-faktor produksi yang "bergerak" (mobile), akan mendorong realokasi ke tempat di mana ketentuan pajaknya lebih rendah. Teori ini meluas dan mendorong pandangan bahwa daya saing nasional harus dipandang dalam konteks daya tarik (attractiveness) terhadap faktor-faktor yang mobile. Pendekatan ini juga diadopsi dalam pengukuran seperti World Competitiveness Report. Ukuran tersebut terutama memuat rangking subyektif dari perspektif para eksekutif bisnis tentang daya tarik beragam negara sebagai tempat bisnis mereka.
Analisis daya saing dalam tingkat industri juga berkembang antara lain dari teori perdagangan internasional (international trade). Bidang ini, yang “diawali” oleh konsep Ricardo tentang keunggulan komparatif, Hecksher-Ohlin, dan pengembangan oleh berbagai pakar teori perdagangan internasional, termasuk Paul Krugman, banyak menjadi dasar bagi kajian daya saing industri. Dollar and Wolff (dapat dilihat dalam tulisan Siggel, 2002) mendefinisikan bahwa “suatu negara berdaya saing jika berhasil dan perdagangan internasional melalui teknologi dan produktivitas yang tinggi, yang dibarengi dengan pendapatan dan upah yang tinggi.”[4]
Beberapa metode seperti RCA (Revealed Comparative Advantage) yang juga sering digunakan untuk menyusun indeks spesialisasi, Trade Performance Index, Portfolio ekspor dinamis (berdasarkan perkembangan pangsa pasar internasional, biasanya digambarkan antara lain dengan bubble chart), dan lainnya adalah di antara analisis yang sering digunakan.[5] Indikator perdagangan juga digunakan dalam analisis tingkat makro. The Trade Performance Index (TPI) yang disusun oleh ITC (International Trade Centre) terdiri atas 24 indikator kuantitatif hasil benchmarking kinerja ekspor dari 184 negara. Informasi tersebut antara lain:

  • Menyusun rangking 14 sektor produk yang berbeda untuk setiap negara.
  • Merangkum indikator kinerja menjadi Current Index dan Change Index.
  • Mengungkap keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif.
  • Menunjukkan posisi sektor-sektor ekspor utama dari seluruh negara dalam jenjang daya saing global.

Selain itu, konsep keuangan juga sering digunakan dalam menganalisis daya saing (yang juga digunakan pada tingkat makro). Contoh paling populer adalah real exchange rate (RER), dan real effective exchange rate (REER). Ukuran ini mencerminkan tingkat kesesuaian mata uang berdasarkan asumsi purchasing power parity. Untuk tingkat industri, biasanya digunakan penggunaan indeks harga dalam industri tertentu.

Catatan :
[1] Beberapa mengukur daya saing berdasarkan harga output relatif antara negara dalam industri tertentu, yaitu Purchasing Power Parity dari output dibagi dengan nilai kurs mata uang.
[2] Dalam pandangan Porter, ukuran daya saing sebenarnya adalah produktivitas.
[3] Neary (2002) misalnya membahas keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif model oligopoli dua negara. Diskusi lebih lanjut tentang ini dapat dilihat dalam buku-buku teks atau literatur ekonomi.
[4] Untuk diskusi lebih dalam, lihat misalnya tulisan Siggel (2003).
[5] Lihat misalnya data dan analisis yang dikembangkan di UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development), http://www.unctad.org/; UN Comtrade (United Nations Commodity Trade Statistics Database), http://unstats.un.org/unsd/comtrade/; dan ITC (International Trade Centre), http://www.intracen.org/index.htm. Catatan: ITC adalah lembaga kerjasama teknis antara UNCTAD dengan WTO (the World Trade Organization) untuk aspek-aspek pengembangan perdagangan yang berorientasi perusahaan yang bersifat operasional.

Bersambung . . .

Baca Selanjutnya...

Senin, Desember 08, 2008

Daya Saing Perusahaan : Catatan Pinggir(an)

Bagian ini saya sebut "catatan pinggir(an)" karena memang saya ambil dari catatan lama saya yang saya batalkan untuk dipublikasikan dalam sebuah buku. Yang saya sampaikan dalam posting ini adalah catatan bahasan ringkas dari perspektif "ekonomi mikro" - bukan dari sisi ilmu manajemen/bisnis. Mudah-mudahan ada gunanya.

Dalam ekonomi, daya saing pada tingkat mikro (perusahaan – firm level) sering diartikan sebagai :

  • Kemampuan suatu perusahaan menguasai, meningkatkan dan mempertahankan suatu posisi pasar;
  • Kemampuan suatu perusahaan mengatasi perubahan dan persaingan pasar dalam memperbesar dan mempertahankan keuntungannya (profitabilitas), pangsa pasar, dan/atau ukuran bisnisnya (skala usahanya);
  • Kapasitas menjual produk secara menguntungkan (Cockburn, et al., 1998).

Dalam teori ekonomi “tradisional,” biaya komparatif produksi menentukan daya saing relatif pada tingkat perusahaan. Dalam hal ini, salah satu cara perusahaan menjadi kompetitif (berdaya saing) adalah dengan memproduksi lebih murah (misalnya mengurangi biaya tenaga kerja). Beragam studi belakangan ini menunjukkan secara konsisten bahwa faktor-faktor selain harga setidaknya sama pentingnya dengan faktor harga (bahkan acapkali dipandang lebih penting) sebagai penentu daya saing (determinants of competitiveness).
Patut diakui bahwa konsep daya saing yang paling “diterima” adalah pada tingkat mikro. Teori ekonomi mikro secara klasik mengajarkan bahwa dalam suatu arena persaingan bisnis, perusahaan yang pada dasarnya mempunyai tujuan memaksimumkan keuntungan (profit), Keberhasilan perusahaan diindikasikan oleh “kemampu-untungannya atau profitabilitas (profitability).” Jadi dalam bentuk yang “paling sederhana,” perusahaan yang tidak mampu untung (unprofitable) adalah perusahaan yang tidak berdaya saing (tidak kompetitif).
Dalam model persaingan sempurna, perusahaan yang tidak berdaya saing akan mempunyai biaya rata-rata yang melebihi harga pasar produk yang ditawarkannya; Nilai sumber daya yang digunakan oleh perusahaan tersebut (opportunity cost) akan melebihi nilai produk (barang dan/atau jasa) yang diproduksi/dihasilkannya. Dalam keadaan demikian terjadi “misalokasi” sumber daya, dan “kesejahteraan” (wealth, dalam pengertian teori ekonomi) berkurang dari idealnya.
Dalam suatu industri dengan produk homogen, perusahaan yang tidak untung mungkin dikarenakan biaya rata-ratanya lebih tinggi dibandingkan dengan biaya rata-rata pesaingnya. Dalam hal ini, produktivitasnya mungkin lebih rendah, atau harus membayar faktor-faktor produksi lebih mahal dibanding pesaingnya, atau keduanya. Produktivitas yang lebih rendah tersebut dapat disebabkan oleh efisiensi teknis (technical efficiency), efisiensi alokatif, atau keduanya (yang menghasilkan efisiensi ekonomi/economic efficiency).[1]
Dalam ekuilibrium pasar yang terdiri dari perusahaan yang memaksimumkan keuntungan pada industri dengan produk homogen, semakin rendah biaya marginal (marginal cost) suatu perusahaan dibanding pesaingnya, maka akan semakin besar pula pangsa pasarnya (market share), ceteris paribus. Karenanya, perusahaan tersebut akan semakin untung pula. Dengan demikian dalam konteks ini, pangsa pasar mencerminkan keunggulan biaya input atau faktor produksi dan/atau produktivitas.
Keadaan seperti disampaikan tersebut dapat berlaku untuk industri dengan produk yang terdiferensiasi (differentiated products industry). Namun bisa juga terjadi (bahkan barangkali sangat kerap dijumpai) bahwa suatu perusahaan (yang kurang berdaya saing) menawarkan produk yang kurang menarik dibanding produk yang ditawarkan oleh pesaingnya. Karena itu perusahaan tersebut akan memiliki pangsa pasar ekuilibrium yang lebih rendah, ceteris paribus. Daya tarik produk (dan/atau perusahaannya) dipengaruhi beragam faktor, termasuk misalnya pemanfaatan sumber dayanya (seperti iklan atau bentuk promosi lain dan/atau pemasarannya, serta litbang).
Profitabilitas (terutama jika dalam periode yang cukup panjang), biaya (dalam produk homogen), produktivitas, dan pangsa pasar (jika perusahaan tidak mengejarnya dengan mengorbankan keuntungannya semata) merupakan indikator daya saing pada tingkat perusahaan yang biasanya menjadi titik mulai (starting points) dalam kajian-kajian (atau pengukuran) daya saing.
Dalam studi-studi empiris, indikator daya saing tersebut biasanya dijabarkan kepada indikator ekonomi yang tidak selalu persis sama. Bureau of Industrial Economics – Australia misalnya, menggunakan indikator statistik seperti tingkat pertumbuhan penjualan, rasio keuntungan/penjualan, rasio pertumbuhan keuntungan/turnover, tingkat keuntungan, biaya, dan indikator kualitatif seperti kualitas dan kinerja produk, kepuasan pelanggan, rentang produk, dan fleksibilitas produksi.
Sebagai sesuatu yang sifatnya berkembang dari waktu ke waktu, daya saing perusahaan juga perlu ditelaah dari perkembangannya. Termasuk dalam hal ini adalah ukuran profitabilitas dalam rentang waktu yang cukup panjang, atau bentuk nilai pasar equity perusahaan (misalnya dalam present discounted value). Ukuran lain adalah rasio nilai pasar debt and equity terhadap biaya penggantian (replacement) asetnya (indikator yang sering disebut Tobin’s q, di mana perusahaan dengan Tobin’s q <> dikatakan tidak kompetitif).[2]
Dalam ekonomi internasional, perusahaan juga bisa tidak berdaya saing jika pasar diproteksi oleh hambatan perdagangan internasional. Dalam perkembangan dewasa ini, nampak kecenderungan antara lain bahwa hambatan tarif yang semakin longgar (dihapuskan secara bertahap) “digantikan” oleh semakin menguatnya bentuk “hambatan teknis” (technical barriers), termasuk HKI [Hak Kekayaan Intelektual] dan standarisasi misalnya, yang sangat terkait dengan kemampuan teknologi/litbang atau inovasi perusahaan.
Pada tingkat perusahaan, besaran pangsa pasar akan mengindikasikan (dan mempengaruhi) profitabilitas atau kesejahteraan.[3] Secara umum teori oligopoli mengajarkan bahwa suatu perusahaan yang memiliki pangsa pasar tinggi (besar) biasanya mempunyai kebebasan pilihan lebih tinggi (dibanding dengan pesaingnya) untuk menentukan harga (dalam model perusahaan dominan) atau mempunyai biaya lebih rendah ataupun produk yang lebih menarik dibanding pesaingnya (model variasi konjektural). Hal ini mengindikasikan keuntungan ekonomi (di atas “keuntungan normal” / normal profit) yang diperoleh. Implikasi demikian tidaklah otomatis selalu berlaku pada tingkat industri.

Catatan :
[1] Istilah ini diungkapkan oleh Farrel [Farrel, M.J. (1957). The Measurement of Productive Efficiency. Journal of the Royal Statistic Society, Series A, CXX, Part 3, 253-290]. Hal ini juga menyangkut skala ekonomi dimana perusahaan beroperasi. Namun, adakalanya juga disebut X-efficiency.
[2] Diungkapkan oleh James Tobin, pemenang hadiah Nobel tahun 1981 di bidang ekonomi untuk analisisnya dalam pasar finansial dan hubungannya dengan keputusan pengeluaran, ketenagakerjaan, produksi dan harga. Tentang Tobins’ q, lihat misalnya Tobin (1978), McFetridge (1995), Eriotis, et al. (2002).
[3] Berbeda halnya jika hal ini diukur pada tingkat industri.



Salam

Baca Selanjutnya...

Minggu, Desember 07, 2008

Selamat Iedul Adha 1429H


Mengucapkan Selamat Iedul Adha 1429H.
Mohon maaf lahir dan bathin.
Semoga Allah swt, mengampuni semua kesalahan dan dosa kita, dan menerima amal-ibadah kita. Amien . . .
Salam

Baca Selanjutnya...

Sabtu, Desember 06, 2008

Membuka Kembali Catatan Kecil : Daya Saing

Tulisan ini saya ambil dari catatan "tempo doeloe" saya tentang daya saing. Semoga bermanfaat.

Istilah daya saing (competitiveness), meskipun setidaknya telah “diawali” oleh konsep keunggulan komparatif (comparative advantage) Ricardo sejak abad 18,[1] kini mendapat perhatian yang semakin besar terutama tiga dekade belakangan ini. Daya saing, satu dari sekian jargon yang sangat populer, tetapi tetap tak sederhana untuk dipahami. Seperti diungkapkan oleh Garelli (2003),[2] konsep yang multidimensi ini sangat memungkinkan beragam definisi dan pengukuran. Tidaklah mengejutkan jika perkembangan pandangan dan diskusi tentang daya saing tak luput dari kritik dan perdebatan yang juga terus berlangsung hingga kini.[3]
Tulisan ini mendiskusikan secara singkat beberapa pandangan/pemikiran tentang daya saing pada berbagai tataran dan dari beberapa perspektif yang berbeda, tanpa maksud memilih mana yang paling benar.
Dalam literatur, istilah “daya saing” (competitiveness) mempunyai interpretasi/tafsiran beragam. Tak satupun yang penulis klaim sebagai “definisi baku” yang diterima semua pihak. Tentang ini, barangkali benar yang disampaikan Michael Porter:
“There is no accepted definition of competitiveness. Whichever definition of competitiveness is adopted, an even more serious problem has been there is no generally accepted theory to explain it . . .. “ (Porter, 1990).
“Competitiveness remains a concept that is not well understood, despite widespread acceptance of its importance . . . .
“(Porter, 2003, 2002b).

Hampir dua dekade kemudian, diskusi tentang ini bahkan meluas dan perspektif tantang apa dan bagaimana meningkatkan daya saing memperkaya debat yang berkembang. Dalam literatur, bahasan konsep daya saing dapat ditinjau pada tingkat:

  • perusahaan,
  • industri atau sehimpunan/sekelompok industri,[4] dan
  • negara atau daerah (sebagai suatu entitas ekonomi).

Pemaknaan daya saing pada konteks tersebut “berbeda.” Akan tetapi, daya saing pada masing-masing tingkatan tersebut terkait secara erat. Daya saing perusahaan merupakan elemen pembentuk daya saing pada tingkat industri, daerah atau negara. Sementara di pihak lain, berbagai kondisi dan faktor yang ada dalam suatu industri dan di suatu daerah atau negara membentuk konteks bagi perkembangan daya saing perusahaan dalam industri dan di wilayah yang bersangkutan. Isu ini juga merupakan salah satu topik yang terus diperdebatkan dalam diskusi tentang daya saing.

Catatan:
[1] David Ricardo melalui tulisannya: “Principles of Political Economy and Taxation”, di tahun 1817 menggarisbawahi bagaimana semestinya negara harus bersaing. Lihat misalnya Spiegel (1991).
[2] Profesor di Institute for Management Development (IMD) dan direktur the World Competitiveness Project.
[3] Lihat misalnya tulisan Krugman (1994), Lall (2001), dan Siggel (2003).
[4] Aktivitas bisnis dalam pengertian umum (tidak terbatas hanya manufaktur/pengolahan).

Secara ringkas, pengertian daya saing itu saya tampilkan dalam gambar berikut.




Salam.

Baca Selanjutnya...

Rabu, Desember 03, 2008

Catatan lanjutan dari posting sebelumnya . . .

Lokakarya “Implementasi Kebijakan Ristek untuk Mendukung Sistem Inovasi Daerah [SIDA]” yang diselenggarakan oleh Kementerian Negara Riset dan Teknologi (KNRT), Rabu, 3 Desember 2008 dibagi dalam dua sesi. Sesi pertama menampilkan 3 narasumber yang mengangkat topik taman/kawasan iptek dan industri [termasuk inkubator bisnis], sedangkan sesi kedua menampilkan empat narasumber yang membahas rencana pembangunan iptek dalam mendukung sistem inovasi daerah masing-masing.
Dalam kesempatan tersebut, saya diminta menjadi moderator pada sesi pertama. Di sesi ini, pembicara pertama adalah Drs. Triyanto, MM [Kepala Bappeda Kota Surakarta] yang memaparkan “Konsep Pengembangan Solo Technopark.” Selanjutnya Ir. Jeni Ruslan [Kepala PUSPIPTEK] menyampaikan “Konsep Pengembangan PUSPIPTEK untuk Mendukung SIDA." Pembicara terakhir membahas “Inkubator Bisnis”, yaitu Ir. Henry S. Hamzah, MBA [Dirut PT LAPI Manufaktur].
Saya tidak akan mengulang satu-persatu isi paparan dan diskusi yang berkembang di blog ini. Saya hanya akan memberi catatan yang menurut saya perlu dipertimbangkan oleh pembuat kebijakan terkait dengan konteks ini.
Sistem inovasi dianggap demikian penting bagi peningkatan daya saing dan kohesi sosial. Sekedar “mengingat” kembali, beberapa fungsi penting dari sistem inovasi antara lain adalah [lihat misalnya ”Johnson, Anna dan Staffan Jacobsson (2000). The Emergence of a Growth Industry: A Comparative Analysis of the German, Dutch and Swedish Wind Turbine Industries. Mimeo. The Department of Industrial Dynamics, Chalmers University of Technology. Sweden. 2000”] :

  1. Menciptakan pengetahuan baru.
  2. Memandu arah proses pencarian penyedia dan pengguna teknologi, yaitu mempengaruhi arah agar para pelaku mengelola dan memanfaatkan sumber dayanya.
  3. Memasok/menyediakan sumber daya, yaitu modal, kompetensi dan sumber daya lainnya.
  4. Memfasilitasi penciptaan ekonomi eksternal yang positif (dalam bentuk pertukaran informasi, pengetahuan dan visi).
  5. Memfasilitasi formasi pasar.

Tentu banyak “fungsi” penting selain yang disebutkan tersebut.
Banyak negara, mendorong pemajuan sistem inovasi antara lain dengan memperkuat kelembagaan dan infrastruktur khusus iptek, serta “keterkaitan” (linkages) antara pihak “penyedia solusi” dengan pihak “pengguna solusi.” Instrumen kebijakan ini diharapkan dapat efektif dalam :

  • meningkatkan sinergi [peran intermediasi] antarpihak dalam berinovasi, aktivitas difusi, dan proses pembelajaran;
  • menjadi tempat/area bagi aktivitas penelitian, pengembangan, dan rekayasa [litbangyasa] produktif;
  • menginkubasikan bisnis sehingga lahir perusahaan pemula atau baru yang inovatif;
  • meningkatkan pertukaran informasi pengetahuan/teknologi;
  • memberikan jasa layanan berbasis pengetahuan/teknologi dengan baik;
  • memberikan bantuan teknis.

Bagi Indonesia, ini bukan hal yang baru. Upaya penguatan kelembagaan iptek telah dimulai sejak masa Kabinet Pembangunan II (1973 – 1978). Saat itu, Prof. Sumitro Djojohadikusumo (alm.) sebagai Menristek memulai adanya Program Riset Nasional. Tahun 1976, dibangun PUSPIPTEK di Serpong. Upaya pengembangan inkubator di Indonesia juga telah dimulai sekitar awal 1990an. Sayangnya, menurut hemat saya perkembangannya relatif lambat dan dibandingkan dengan ”kebutuhan” nasional, sebetulnya ini masih underinvest. Alangkah tidak mudahnya memang ketersediaan infrastruktur ini dapat memberikan daya ungkit yang signifikan dan luas [bersifat nasional] bagi perkembangan sosial, ekonomi dan budaya di Indonesia.
Di sisi lain, tentu saja kelembagaan iptek [beserta infrastruktur pendukungnya] perlu terus dibenahi agar semakin efektif dan efisien serta sesuai dengan perkembangan tantangan yang dihadapi.
Pengembangan kelembagan dan infrastruktur iptek dalam implementasinya bukan hal yang mudah. Membangun keterkaitan, jejaring, dan sinergi dengan pemangku kepentingan kunci, termasuk masyarakat sekitar, merupakan hal yang sangat penting. Jika hal demikian diabaikan, maka bukan saja tujuan penting yang disebutkan sebelumnya sulit tercapai dengan baik. Bahkan boleh jadi, ”efek samping negatif” lah yang muncul. Gesekan sosial dengan masyarakat sekitar berkembang. Bahkan di beberapa kawasan industri, yang terlanjur seolah menjadi enclave yang tidak memiliki keterkaitan kuat dengan sosial, ekonomi dan budaya setempat, membuat masyarakat sekitar hanya menjadi ”penonton”, terkadang dinilai ”merecoki” aktivitas produktif di kawasan, dan proses alih pengetahuan/teknologi atau proses pembelajaran di masyarakat setempat pun tidak terjadi.
Karena itu memang agenda peningkatan daya saing harus seiring sejalan dengan penguatan kohesi sosial. Bagi saya, ini ibarat agenda berbentuk mata uang logam yang bersisi ganda = jika ingin mata uang tersebut berfungsi sebagai alat tukar yang efektif, maka kedua sisinya harus sama-sama dikembangkan sejalan satu dengan lainnya.
Hal terakhir yang ingin saya sampaikan adalah semakin mendesaknya kebutuhan akan terintegrasinya informasi dan komunikasi pengetahuan/teknologi yang memudahkan baik pihak penyedia maupun pengguna. Ini yang sering disebut dengan peran technology clearing house [TCH]. Dengan THC, diharapkan aset intelektual yang berkembang dapat dikelola dengan lebih baik, diakses oleh masyarakat yang membutuhkan [termasuk kemungkinan komersialisasi] dan didifusikan dengan lebih efektif dan efisien. THC berpotensi menjadi salah satu "simpul" peningkatan sinergi banyak pihak. Bagaimana arah dan pengelolaan implementasi THC pada tataran ”Pusat” dan ”Daerah” tentu perlu dirumuskan dengan baik agar benar-benar bermanfaat bagi masyarakat. Semoga KNRT atau lembaga lain merespon hal ini dengan baik sehingga tidak berhenti sebagai wacana semata.

Wallahu alam bissawab.
Salam

Baca Selanjutnya...

Selasa, Desember 02, 2008

Model “Kawasan Iptek dan Industri”


Sebagaimana sering saya sampaikan, “Sistem Inovasi” pada dasarnya merupakan suatu kesatuan dari sehimpunan aktor, kelembagaan, hubungan, jaringan, interaksi dan proses produktif yang mempengaruhi arah perkembangan dan kecepatan inovasi dan difusinya (termasuk teknologi dan praktik baik/terbaik), serta proses pembelajaran.
Dalam pengertian tersebut, inovasi – bersama dengan difusi dan proses pembelajaran – merupakan bagian dari sistem inovasi. [Catatan sekedar pengingat, bahwa invensi dan discovery berpeluang menjadi inovasi, tetapi tidak identik dengan dan tidak selalu menjadi inovasi].
Pendekatan sistem inovasi juga mengindikasikan bahwa ada dimensi analisis yang dapat ditelaah dari suatu sistem inovasi nasional, yaitu konteks ”sektoral” [sering disebut sistem inovasi sektoral/industrial] dan konteks ”teritorial” [sering disebut sistem inovasi daerah]. Gambar beriku hanya merupakan salah satu ilustrasi “penggambaran” sistem inovasi.


Pendekatan sistem inovasi juga menunjukkan urgensi interaksi antarelemen sistem. Dari perspektif kebijakan publik, pendekatan sistem inovasi ini juga menjadi pijakan penting. Dalam hal ini, ”kegagalan sistemik” (systemic failures) merupakan dasar bagi argumen isu kebijakan dan solusi kebijakan yang diperlukan. Oleh karena itu, faktor-faktor ”non iptek” sangatlah penting untuk ditelaah dan diatasi isu kebijakannya.
Di antara persoalan generik dalam sistem inovasi adalah daya dukung iptek dan interaksi antara “penyedia” dan “pengguna solusi”. Revitalisasi atau reformasi lembaga-lembaga litbangyasa (penelitian, pengembangan, dan rekayasa), pengembangan taman/kawasan iptek (dan industri atau sejenisnya), aliansi strategis multipihak seperti konsorsia, dan lainnya adalah “model-model” yang dikembangkan di banyak negara dalam mengatasi persoalan tersebut.
Apa dan bagaimana upaya-upaya yang telah dikembangkan di beberapa daerah di Indonesia dalam hal ini?
Lokakarya “Implementasi Kebijakan Ristek untuk Mendukung Sistem Inovasi Daerah” akan membahas isu ini sebagai salah satu topik bahasan. Lokakarya ini diselenggarakan pada hari Rabu, 3 Desember 2008, mulai pukul 08:30 WIB, bertempat di Ruang Komisi Utama Gedung 2 BPPT – Lantai 3.

Baca Selanjutnya...

ARTIKEL TERAKHIR

Creative Commons License
Blog by Tatang A Taufik is licensed under a Creative Commons Attribution-Share Alike 3.0 United States License.
Based on a work at sistem-inovasi.blogspot.com.
Permissions beyond the scope of this license may be available at http://tatang-taufik.blogspot.com/.

  © Blogger template The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP