Ini merupakan bagian lanjutan dari artikel sebelumnya.
Kemitraan Produktif antara Pihak Penyedia dan Pengguna Pengetahuan/Teknologi. Di antara persoalan klasik dan sistemik pengembangan sistem inovasi adalah berkaitan dengan “kesenjangan” antara pihak penyedia pengetahuan/teknologi dan pihak penggunanya (calon pengguna). Karena itu, kita perlu meningkatkan langkah-langkah untuk mendorong interaksi produktif multipihak yang saling menguntungkan bagi perkembangan inovasi dan difusinya, penyebarluasan praktik baik dan hasil-hasil litbangyasa [penelitian, pengembangan, dan perekayasaan] yang sesuai dengan potensi terbaik nasional dan daerah. Ini termasuk antara lembaga-lembaga pendidikan yang relevan dengan dunia usaha dan masyarakat umum. Kelemahan dalam hal ini [dalam menjawab tantangan riil di masyarakat] merupakan salah satu faktor mengapa sebagian besar perguruan tinggi masih dianggap sebagai menara gading.
Unjuk rasa mahasiswa dalam banyak hal efektif sebagai salah satu kontrol sosial. Tetapi ini bukan satu-satunya cara. Kini saatnya lembaga pendidikan juga dapat membekali para anak didiknya menyikapi problem sosial dengan semakin baik dan belajar menjadikan dirinya bagian dari solusi secara lebih cerdas [dan tentu tidak justru memembawa kerusuhan sosial, apalagi perusakan fasilitas umum yang penting bagi masyarakat]. Mungkin saya keliru, tetapi menurut saya kebebasan akademik dan menjunjung tinggi demokrasi tidak dapat dijadikan alasan untuk melegitimasi pengabaian atas sikap, perilaku dan tindakan yang santun terhadap orang lain.
Budaya kreatif – inovatif. Langkah-langkah apresiasi terhadap karya-karya kreatif-inovatif perlu tetap dikembangkan. Saya pernah beberapa kali mengusulkan untuk mengadakan semacam “hari kreativitas” atau “hari/pekan inovasi”. Ini dapat diprakrasai, jika tidak mungkin pada tataran nasional, ya dimulai di beberapa daerah. Di semua sekolah [misalnya sampai tingkat SMU] pada hari atau pekan tersebut diadakan aktivitas agar siswa membuat karya kreatif-inovatif secara serentak. Ini boleh [dan menurut saya sebaiknya] melibatkan orang tua siswa untuk mendorong budaya kreatif dan apresiasi terhadap ide-ide kreatif dalam keluarga. Sekolah memberikan apresiasi kepada karya kreatif yang baik siswanya. Pemerintah setempat juga harus ikut terlibat, termasuk misalnya mengorganisasikan dan memberikan penghargaan pada tingkat daerah. Demikian halnya dunia usaha dan organisasi lain [termasuk organisasi bisnis dan organisasi profesi setempat], yang bisa terlibat mengorganisasikan maupun ikut berkontribusi mendukung pendanaan dan/atau dalam bentuk kontribusi/partisipasi lainnya. Insya Allah, di daerah yang berani memprakarsai hal demikian akan muncul talenta-talenta Indonesia yang luar biasa di masa depan!!!
Namun apresiasi atas kreativitas dan keinovasian tentu saja harus dibarengi pula dengan langkah jangka panjang dalam pendidikan masyarakat. Sudah saatnya kita memulai pengembangan ”standar literasi teknologi” dalam pendidikan formal, dan memberikan pengenalan terhadap kreativitas dan kewirausahaan sejak usia dini. Menghadapi tantangan perubahan ke depan, ukuran “kemelekan” (literacy) bagi negara sebesar Indonesia tak cukup lagi hanya sebatas “melek huruf,” tetapi “melek teknologi" (technology literate). Ini sebaiknya diperkenalkan sejak usia dini.
Pengenalan tentang pengetahuan tradisional atau teknologi masyarakat (indigenous knowledge/technology), kekayaan seni dan budaya, keragaman hayati dan kelestarian lingkungan sebaiknya mulai diperkenalkan, mugkin sebagai ”muatan lokal” dalam lembaga pendidikan sedini mungkin. Tentu ini disesuaikan dengan usia anak didik kita.
Pengembangan Potensi Terbaik yang Lebih Fokus. Walaupun sebenarnya berbagai kementerian/kementeriaan negara telah merumuskan ”sektor prioritas”-nya, namun pada umumnya ini merupakan agenda prioritas masing-masing kementerian/kementerian negara yang bersangkutan. Langkah sinkronisasi-harmonisasi masih perlu terus dilakukan untuk mencapai konsensus prioritas dan memperkuat sinergi kebijakan dan program. Proses membangun kesejalanan (alignment) antarpihak ini juga perlu dilakukan antara tataran ”nasional dan daerah.” Dengan cara demikian lah sinergi antarpihak dalam membangun keunggulan daya saing secara nasional dapat ditumbuhkembangkan.
Nah bagaimana dengan dunia pendidikan? Tentunya lembaga-lembaga pendidikan turut bertanggung jawab menyiapkan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi serta SDM berkompeten yang juga sesuai dengan pengembangan potensi terbaik setempat. Maaf jika saya harus mengambil contoh ilustratif dari negara seperti Amerika Serikat. Di sana, muatan pendidikan dan riset di perguruan tinggi yang sangat baik umumnya relevan dengan potensi terbaik setempat dan keunggulan daya saingnya. Dapat kita lihat bahwa ekonomi lokal/daerah berkembang dengan keunggulan daya saing masing-masing. Perguruan tinggi dan/atau lembaga litbang setempat pun memiliki keunggulan di bidang yang relevan, sehingga terjadi hubungan timbal-balik yang saling memperkuat. Pusat-pusat keunggulan (centers of excellence) berkembang sesuai dengan kekhasan masing-masing daerah.
Penyelarasan terhadap Perkembangan Global. Bagaimana pun, kita tidak berada dalam dunia yang terisolasi. Perkembangan global, cepat atau lambat, langsung ataupun tidak langsung, mempengaruhi Indonesia. Ini keniscayaan. Kita melihat isu-isu seperti Hak Azasi Manusia (HAM), demokrasi, perdagangan internasional, Hak Kekayaan Intelektual (HKI), standarisasi, dan kelestarian lingkungan hidup semakin menjadi faktor ”penentu” dalam tata hubungan internasional. Oleh sebab itu, kemampuan mengantisipasi dan beradaptasi terhadap perkembangan global harus dikembangkan. Terlebih karena dalam perekonomian global, aspek-aspek teknis-teknologis semakin berperan dalam tata hubungan antarnegara.
Membangun manusia Indonesia yang cerdas, kompeten dan siap berlomba di era persaingan global jelas membutuhkan pendidikan yang baik. Tetapi sebaliknya, penyelarasan terhadap perkembangan global juga tidak berarti kita harus selalu “manut” terhadap tekanan-tekanan yang merugikan Bangsa Indonesia. Membangun generasi Indonesia yang memiliki karakter baik dan semangat nasionalisme yang kuat sangat penting dalam memperkokoh kemandirian bangsa. Jangan sampai terulang akumulasi aset intelektual dan kemampuan teknologi dan industri kita “porak poranda” karena tekanan atas ukuran-ukuran baik menurut kepentingan asing semata, karena kepentingan jangka pendek dan eforia demokratisasi ekonomi. Mudah-mudahan kita bisa belajar atas tindakan kita terhadap perusahaan seperti PT DI di masa lalu.
Semoga di tahun 2009, perbaikan-perbaikan tersebut dapat ditingkatkan dan diimplementasikan dengan sungguh-sungguh dan konsisten, serta dapat membawa kepada keadaan sistem inovasi di Indonesia yang lebih baik di masa datang.
Wallahu alam bissawab.
Baca Selanjutnya...